Selalu ada kesempatan di setiap kesulitan. Pandemi COVID-19 yang belum kunjung usai di berbagai negara membuat para pelaku bisnis harus beradaptasi, berjuang, serta memberi nilai tambah dari solusi yang ditawarkan.
Salah satu caranya adalah dengan membantu klien melakukan transformasi digital sesuai kondisi masing-masing. Dengan memberikan kustomisasi layanan, para founder menyadari mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Simak bagaimana tiga perusahaan startup berikut membantu para klien masing-masing bernavigasi menuju digitalisasi.
Manycore: Menyederhanakan hidup pemilik rumah melalui layanan SaaS
Memilih perabotan rumah bisa jadi hal yang melelahkan. Tak sedikit pemilik rumah yang menghabiskan terlalu banyak waktu dan uang untuk mendesain tata ruang rumah dengan desainer interior.
Untuk mengatasi masalah ini, tiga orang alumni dari University of Illinois–Victor Huang, Chen Hang, dan Zhu Hao–mendirikan Manycore pada 2011. Dua tahun setelahnya, mereka merilis software-as-a-service (SaaS) jasa desain berbasis cloud untuk keperluan perabotan rumah tangga dan sektor real estat. Namun, di awal usaha, mereka sempat kesulitan menarik perhatian audiens yang jadi target: desainer interior.
“Kebanyakan desainer interior menyampaikan (kepada kami) jika mereka memakai tool berbasis web, para konsumen malah beranggapan desainer hanya menghabiskan sedikit waktu dalam mendesain prototipe, sehingga terkesan bahwa desainer tidak profesional,” ujar Huang.
Menghadapi respons pasar yang kurang antusias, Manycore banting setir untuk memperkenalkan produk mereka kepada para pemilik rumah. Mereka menawarkan pengguna untuk mendesain rumah dalam hitungan menit, dan mendapatkan gambar fotorealistik dalam hitungan detik, sembari menghemat biaya desain interior. Dengan menjembatani celah ini, masyarakat awam dan para pemilik rumah mampu mendesain interior rumah mereka dengan solusi yang ramah.
“Sebelumnya, pemilik rumah butuh waktu berhari-hari–bahkan beberapa minggu–untuk menghubungi, bernegosiasi, hingga membuat kesepakatan dengan desainer interior,” papar Huang. Ia menambahkan, software interior desain terdahulu cukup sulit dipelajari, serta membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga pengguna bisa membuat desain yang simpel.
Dengan makin banyak pemilik rumah yang menggunakan platform Manycore, para desainer interior mulai mau beradaptasi untuk menggunakan platform tersebut dalam pekerjaan masing-masing. Pada 2018, Manycore melebarkan sayap ke ranah internasional dan meluncurkan Coohom, platform yang membuat perusahaan mengumpulkan 22 juta pengguna hingga hari ini.
Bahkan pemasok kebutuhan interior rumah mulai melirik platform ini. Saat perusahaan keramik Marco Polo asal Cina memulai kemitraan dengan Coohom pada 2019, momen itu jadi langkah pertama digitalisasi bisnis Marco Polo di usianya yang ke-25.
Platform Coohom juga memungkinkan desainer Marco Polo menghasilkan desain produk terbaru secara efisien. Kemitraan ini menghasilkan dua keuntungan: membuat konsumen bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang produk-produk Marco Polo, sementara para desainer Marco Polo jadi punya ruang untuk meningkatkan kemampuan desain masing-masing.
Wiz.ai: Membuat solusi AI sesuai kebutuhan tiap perusahaan
Tak jarang tiap orang menghadapi masalah yang spesifik untuk bisnis atau industri masing-masing. Bagi CEO dan Co-Founder Wiz.ai Jennifer Zhang, produk yang baik adalah yang dibuat bersama-sama dengan klien untuk mencapai tujuan perusahaan serta konsumen sekaligus bisnisnya.
Didirikan pada 2019, perusahaan rintisan Singapura ini menggunakan machine learning, automatic speech recognition, dan natural language processing untuk membangun solusi engagement dalam bentuk smart voice AI. Implementasi dari produk ini memungkinkan perusahaan-perusahaan dari berbagai industri–mulai dari keuangan dan perbankan, hingga logistik dan e-commerce–mengganti call center mereka dengan chatbot berbasis suara.
Kolaborasi dengan konsumen dimulai dari serangkaian workshop kreatif. Kegiatan ini dilakukan untuk memahami dan mengidentifikasi cara penggunaan terbaik pada bisnis para konsumen, kata Zhang.
“Dari sini, kami memetakan titik kontak dalam keterlibatan konsumen yang paling umum, sehingga dapat diotomatisasi menggunakan voice AI,” tambahnya. “Kami kemudian bekerja sama dengan para pemangku kepentingan internal untuk menentukan cakupan talkbot, mengintegrasikan Wiz.ai ke dalam sistem yang ada, dan melakukan beberapa kali pengujian untuk memastikan produk bekerja dengan lancar.”
Pada Desember 2020, Wiz.AI bekerja sama dengan Carro untuk meluncurkan talkbot. Tool yang dapat membantu marketplace mobil berbasis di Singapura ini melakukan automasi proses penjualan aktif serta panggilan ke konsumennya. Talkbot ini mampu menangani hampir empat kali panggilan lebih banyak daripada manusia, dan menghasilkan tingkat respons konsumen yang serupa, hingga Carro mampu memanfaatkan 20.000 prospek potensial yang sebelumnya tidak tertangani.
Faktanya, talkbot sulit dibedakan dengan suara manusia. Zhang mengatakan bahwa sering kali konsumen menyampaikan terima kasih kepada talkbot ketika mengakhiri pembicaraan.
Labster: Solusi edtech dari Eropa ke Amerika Utara
Saat Covid-19 mendorong para warga dunia untuk bekerja dan belajar dari jarak jauh, startup edtech Denmark Labster berada dalam situasi yang penuh tantangan. Perusahaan mencoba untuk memenuhi kebutuhan sekolah di pasar terbesarnya, Amerika Utara, sementara mereka berbasis di Eropa.
“Itu adalah waktu yang sangat intens,” kata Michael Jensen, pendiri dan CEO Labster. Saat sekolah-sekolah ditutup, perusahaan menanggapi fenomena tersebut dengan memperluas cakupan bisnis yang awalnya terfokus pada mahasiswa. Kini Labster juga menyasar siswa sekolah menengah.
“Kami sangat yakin dengan menggratiskan sebagian besar produk kami, manfaat dari membangun awareness (terhadap produk kami) akan berdampak positif untuk kami dalam jangka panjang,” jelas Jensen. Strateginya berhasil. Dalam beberapa minggu, lebih dari 50.000 guru telah mendaftar ke Labster.
Karena sekolah harus dimulai kembali dari rumah sesegera mungkin, Labster hanya punya waktu 2 minggu untuk melatih dan mengajari 2 juta siswa dan ratusan guru.
Untuk mengatasi rintangan ini, Labster memperkenalkan program fleksibel yang melibatkan webinar dan pelatihan harian. Program ini memungkinkan guru dan administrator sekolah untuk masuk dan keluar sesi sesuai dengan jadwal masing-masing. Ini menghasilkan peningkatan penggunaan sekitar 20 kali dibandingkan periode yang sama tahun lalu, kata Jensen. Ke depan, Jensen mengincar kawasan berkembang seperti pedesaan Afrika, di mana infrastruktur untuk konektivitas internet masih terbelakang.
“Simulasi dan teknologi kami dirancang untuk akses bandwidth yang sangat rendah, hanya butuh sekitar 50 MB untuk mengunduh [konten],” kata Jensen. Ia menambahkan bahwa hal ini membuat Labster sebagai kandidat sempurna untuk area dengan konektivitas internet yang tak merata. Siswa bisa menggunakan koneksi 3G atau Edge untuk mengakses simulasi Labster.
Mengingat pelatihan berbasis video yang sering kali menggunakan bandwidth yang besar, solusi data-friendly dari Labster membuat pendidikan lebih mudah diakses oleh banyak orang.
Manycore, Wiz.ai, dan Labster adalah perusahaan portofolio di bawah GGV Capital. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pendanaan dan dukungan yang ditawarkan perusahaan modal ventura kepada perusahaan portofolionya, kunjungi situs resminya di sini.
Konten ini diproduksi oleh Tech in Asia Studios dalam partnership dengan GGV Capital
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Dini Utomo sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
Source: Tech In Asia